Beranda | Artikel
Sifat-Sifat Pengemban Al-Quran
Rabu, 25 Maret 2020

Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr

Sifat-Sifat Pengemban Al-Qur’an adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab التبيان في شرح أخلاق حملة القرآن (At-Tibyaan fi Syarh Akhlaq Hamalatil Qur’an). Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 27 Rajab 1441 H / 22 Maret 2020 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Sifat-Sifat Pengemban Al-Qur’an

Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan: Apabila seorang pengemban Al-Qur’an ditimpa suatu musibah, maka Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan mendidiknya.

Yaitu maksudnya -kata Syaikh Hafidzahullah- apabila turun kepadanya musibah dan ia mendapatkan bencana dan ia menemukan kesulitan, maka ia segera kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ia akan mendapati pada keduanya petunjuk-petunjuk yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan menyembuhkan kehausannya. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim apabila ia ditimpa suatu musibah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun[64]: 11)

Berkata ‘Alqamah Rahimahullah: maksud dari ayat tadi yaitu seorang yang ditimpa musibah dan ia mengetahui bahwasanya hal itu datangnya dari Allah, maka ia pun berserah diri dan ridha kepadaNya.

Juga Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, beliau menyebutkan sifat dan keadaan seseorang yang beriman:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak dimiliki kecuali seorang yang beriman. Apabila ia mendapatkan kebaikan ia bersyukur maka itu baik baginya dan apabila ia mendapatkan kesulitan maka ia bersabar dan itu baik baginya.” (Hadits Riwayat Muslim)

Maka orang yang diberikan oleh Allah ilmu dan keimanan, ia menyikapi apa yang ia hadapi dengan ilmu-ilmu syar’i. Ketika ia bahagia atau mendapatkan musibah, ia mengingat dalil-dalil dan nash-nash serta adab-adab yang seharusnya ia lakukan.

Kemudian Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan: seorang pengemban Al-Qur’an jika ia sedih, ia sedih dengan ilmu, ia menangis dengan ilmu, ia bersabar dengan ilmu, bersuci dengan ilmu, shalat dengan ilmu, mengeluarkan zakat dengan ilmu, bersedekah dengan ilmu, berpuasa dengan ilmu, melakukan ibadah haji juga dengan ilmu.

Maksud perkataan beliau Rahimahullah adalah seorang pengemban Al-Qur’an dalam ibadah-ibadahnya, dalam segala gerak-geriknya, dalam semua urusannya, semua dibangun diatas ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang melakukan segala urusannya tanpa ilmu, maka ia akan terjatuh dalam kesalahan dan itu sesuatu yang pasti. Sebagaimana perkataan Umar bin Abdul ‘Aziz Rahimahullah: Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat kerusakan lebih banyak daripada apa yang ia perbaiki.

Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan: seorang pengemban Al-Qur’an berjihad dengan ilmu. Syaikh mengatakan: seorang pengemban Al-Qur’an tidak masuk ke dalam medan jihad, tidak membawa bendera jihad kecuali dengan ilmu. Berbeda dengan orang yang masuk ke dalam medan jihad, membawa senjata, namun tanpa ilmu syariat, tanpa pondasi yang benar, tanpa kaidah-kaidah jihad yang benar, maka kerusakan yang ditimbulkan akan sangat besar.

Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menyebutkan tentang sifat orang-orang Khawarij, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ ، سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ ، فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا ، لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan keluar di akhir zaman nanti suatu kaum yang muda umur mereka, llemah akal mereka, mereka mengatakan perkataan sebaik-baik manusia (yaitu perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Dan mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari sasarannya. Maka apabila engkau menemukan mereka, maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang lain bersabda:

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ ، أَهْلَ الْإِسْلَامِ ، وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ ، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya dari keturunan orang ini ada satu kaum yang membaca Al-Qur’an namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh kaum muslimin dan meninggalkan orang-orang musyrik. Mereka keluar dari agama Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya. Seandainya aku mendapati mereka, sungguh aku akan membunuh mereka seperti dibunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu sebagian dari mereka kelompok khawarij, mereka membunuh anak-anak, membunuh para wanita, membunuh orang-orang tua dengan dalih jihad. Mereka menghancurkan rumah-rumah dan mereka melakukan perbuatan yang sangat keji, perbuatan yang melampaui batas dan mereka menganggap bahwa itu adalah jihad dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan sebagian mereka membunuh diri mereka sendiri dengan mengatasnamakan jihad.

Dan barangsiapa yang membaca sejarah, ia akan mendapati bahwa sebagian mereka (yaitu orang-orang khawarij) justru menunggu waktu bulan Ramadhan yang penuh berkah, yang mana para manusia sedang tenang beribadah, berkonsentrasi melakukan shalat, berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun justru mereka mengganggu orang-orang tersebut. Seperti yang dilakukan oleh pemimpin khawarij yang pertama, yaitu Abdurrahman bin Muljam ketika ia membunuh sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu pada hari 17 Ramadhan diwaktu shalat fajar. Ia membunuh orang yang paling mulia di atas muka bumi ketika itu, yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib di waktu yang paling mulia dan ia menganggap bahwasaannya ia sedang berjihad dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kesimpulannya wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bab ini dan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah dijelaskan dalam petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bab jihad.

Seorang pengemban Al-Qur’an mencari penghasilan dengan ilmu, juga mengeluarkan hartanya dengan ilmu. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ فِيهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعن جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

“Tidak akan bergerak dua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampainya ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dia habiskan, dan tentang apa yang ia kerjakan dengan ilmunya, dan tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam Albani Rahimahullah)

Jika ia terbuka dalam beberapa perkara, maka ia bangun di atas ilmu. Atau jika ia tertutup, maka itu pun dibangun di atas ilmu. Maka semua gerak-geriknya dibangun di atas ilmu, bukan dibangun di atas hawa nafsu. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah dan jika ia menahan sesuatu maka ia menahan karena Allah. Ia mencintai karena Allah dan ia pun membenci karena Allah.

Dia telah mendidik dirinya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ia membaca Al-Qur’an untuk mendidik dirinya sendiri. Maka ia selalu memperhatikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, adab-adab Al-Qur’an yang sangat agung dan sangat mulia untuk mendidik dirinya sendiri. Ia tidak melewati ayat kecuali ia berusaha untuk mendidik dirinya dengan adab-adab Al-Qur’an.

Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan: dia tidak mencukupkan dirinya untuk mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dengan kebodohan. Namun ia selalu menjadikan ilmu sebagai petunjuk ia menuju segala kebaikan.

Dan apabila ia mempelajari Al-Qur’an ia berusaha memahami dan mengerti isinya. Yang menjadi pikiran dia, yaitu bagaimana ia bisa memahami apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepadanya dari perintah-perintah yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang. Bukan pikiran dia -ketika ia membaca Al-Qur’an- hanya memikirkan kapan aku bisa mengkhatamkan surat ini.

Akan tetapi yang menjadi keinginan dia, yang menjadi semangat dia, ia selalu mengataka: Kapan aku bisa mencukupkan diriku dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari selainNya? Kapan aku bisa menjadi orang yang bertakwa? Kapan aku bisa menjadi orang yang baik? Kapan aku bisa menjadi orang yang benar-benar bertawakal? Kapan aku bisa menjadi orang yang khusyu’? Kapan aku bisa menjadi orang yang sabar? Kapan aku bisa menjadi orang yang jujur? Kapan aku bisa menjadi orang yang takut? Kapan aku bisa benar-benar menjadi orang yang berharap kepada Allah? Kapan aku menjadi orang yang zuhud terhadap dunia? Kapan aku hanya mengharap kehidupan akhirat? Kapan aku taubat dari dosa-dosaku? Kapan aku bisa mengingat nikmat-nikmat Allah yang sangat banyak? Kapan aku bisa mensyukuri nikmat-nikmat tersebut? Kapan aku bisa memahami apa yang Allah sampaikan? Kapan aku bisa memahami apa yang aku baca? Bagaimana aku bisa mengalahkan hawa nafsuku? Bagaimana cara aku berjihad dengan jihad yang benar? Kapan aku bisa menjaga lisanku? Kapan aku bisa menundukkan pandanganku? Kapan aku bisa menjaga kemaluanku? Kapan aku malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya? Kapan aku menyibukkan diri dengan aibku? Kapan aku bisa memperbaiki yang rusak dari segala urusanku? Kapan aku bisa menginstropeksi diriku? Kapan aku bisa mempersiapkan bekal untuk hari kembaliku? Kapan aku ridha kepada Allah? Kapan aku menjadi orang yang benar-benar yakin kepada Allah? Kapan aku bisa meninggalkan apa yang dilarang oleh Al-Qur’an? Kapan aku bisa menjadi orang yang benar-benar mencukupkan diri dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Kapan aku mencintai apa yang Allah cintai? Kapan aku bisa membenci apa yang Allah benci? Kapan aku bisa memberi nasihat karena Allah? Kapan aku bisa mengikhlaskan segala amalku hanya untuk Allah? Kapan aku bisa memendekkan angan-anganku? Kapan aku bisa mempersiapkan untuk kematianku padahal aku tidak mengetahui kapan ajalku? Bagaimana aku bisa memakmurkan kuburku? Kapan aku bisa memikirkan tentang padang mahsyar yang penuh kesulitan? Kapan aku bisa berkhalwat dengan Tuhanku?

Berkata Imam Al-Ajurri Rahimahullah tentang keadaan pengemban Al-Qur’an yang menjadi pengemban Al-Qur’an yang sebenarnya. Yaitu -ketika ia membaca Al-Qur’an- ia selalu berusaha memahami makna-makna yang ia baca, ia berusaha mengerti ayat-ayat yang ia baca dan ia selalu melakukan apa yang ia telah baca. Ia berusaha untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.

Oleh karena itu pemikiran seseorang yang membaca Al-Qur’an di antara mereka yaitu orang-orang yang menjadi pengemban Al-Qur’an yang sebenarnya ia selalu berusaha untuk bagaimana ia memahami apa yang disampaikan Allah dalam Al-Qur’an, ia berusaha untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Ia berusaha untuk mentadaburi Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan penuh kejujuran, dengan ketakwaan. Dan ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri: Kapan aku bisa memiliki sifat-sifat tersebut setiap ia melewati satu sifat dalam Al-Qur’an dari sifat-sifat yang mulia, sifat-sifat yang agung, adab-adab yang indah, ia selalu menginstropreksi dirinya, dia selalu berusaha untuk mengamalkan adab-adab tersebut. Ia berusaha untuk mengerjakan amalan-amalan tersebut. Apabila ia melewati ayat-ayat larangan dalam Al-Qur’an, ia selalu memeriksa dirinya dan berusaha untuk menjauhi apa yang dilarang dalam Al-Qur’an. Kemudian ia juga selalu mengingatkan dirinya tentang hari kebangkitan, hari ketika berhadapan dengan Allah ‘Azza wa Jalla, tentang hukuman yang Allah siapkan bagi orang yang mendurhakaiNya, ia selalu berusaha untuk mencukupkan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari selainNya, ia berusaha untuk menjadi orang yang bertakwa, orang yang baik, orang yang bertawakal, orang yang taat dan orang yang khusyu’, ia tidak melewati makna-makna yang agung dan sifat-sifat yang mulia dalam Al-Qur’an kecuali ia berusaha dan berharap untuk menjadi pemilik sifat-sifat tersebut.

Kemudian Imam Al-Ajurri Rahimahullah menyebutkan permisalan-permisalan yang sangat agung yang berkaitan tentang seorang bagaimana menginstropeksi dirinya. Ketika ia melewati ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat yang mulia, ia berusaha untuk memeriksa dirinya. Kapan ia bisa memiliki sifat-sifat tersebut? Kapan ia benar-benar bisa mengambil pelajaran? Kapan ia bisa berkonsentrasi untuk kehidupan akhirat?

Imam Al-Ajurri Rahimahullah melanjutkan. Sorang pengemban Al-Qur’an selalu memikirkan: Kapan aku bisa memikirkan tempat kembaliku? Kapan aku bisa waspada dari apa yang Allah peringatkan kepadaku, dari neraka yang panasnya sangat panas dan dalamnya sangat dalam, kesedihannya sangat panjang, tidak akan mati penduduk neraka sehingga mereka bisa beristirahat, tidak diterima alasan-alasan mereka, tidak dikasihani tangisan mereka, makanan mereka adalah buah zaqqum, minuman mereka adalah air yang sangat panas. Setiap matang kulit-kulit mereka maka kulit-kulit itu pun diganti dengan kulit yang lain agar mereka merasakan adzab. Mereka menyesal yang mana ketika itu penyesalan tidak bermanfaat lagi. Mereka menggigit jari-jari mereka karena menyesal atas kelalaian mereka dalam mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mereka banyak bermaksiat kepada Allah. Di antara mereka mengatakan:

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي ﴿٢٤﴾

Duhai seandainya aku dahulu melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk kehidupan akhiratku.” (QS. Al-Fajr[89]: 24)

Juga sebagian mereka mengatakan:

…رَبِّ ارْجِعُونِ ﴿٩٩﴾ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ…

Wahai Tuhanku, kembalikan aku agar aku bisa mengamalkan amal shalih yang dulu aku tinggalkan.” (QS. Al-Mu’minun[23]: 100)

Yang lain mengatakan:

يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَـٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا

Sungguh celaka aku, kitab apa ini yang tidak meninggalkan sesuatu yang besar maupun yang kecil kecuali ia hitung.” (QS. Al-Kahfi[18]: 49)

Juga yang lain mengatakan:

يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا ﴿٢٨﴾

Sungguh celaka aku seandainya aku dahulu tidak menjadikan fulan sebagai teman.” (QS. Al-Furqan[25]: 28)

Sekelompok dari mereka ketika wajah-wajah mereka berbolak-balik di berbagai macam siksaan, mereka mengatakan:

…يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّـهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾

Seandainya dahulu kami mentaati Allah dan mentaati para Rasul.” (QS. Al-Ahzab[33]: 66)

Juga ini adalah neraka wahai kaum muslimin sekalian, wahai pengemban Al-Qur’an yang Allah peringatkan orang-orang beriman di banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an sebagai kasih sayang Allah kepada orang-orang yang beriman.

Penjelasan:

Berkata Syaikh Hafidzahullah, Imam Al-Ajurri menyebutkan secara mendetail berbagai macam penyesalan orang-orang yang masuk ke dalam neraka. Namun penyesalan-penyesalan ini tidak bermanfaat dan tidak berfaedah sama sekali. Karena mereka telah mengetahui, mereka mengatakan:

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي ﴿٢٤﴾

Seandainya aku dahulu melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk kehidupan akhiratku.” (QS. Al-Fajr[89]: 24)

Karena ia telah mengetahui bahwasanya akhirat adalah kehidupan yang abadi, maka ia menyesal atas apa yang telah mereka lakukan di kehidupan yang fana ini. Kemudian sebagian mereka mengatakan:

…رَبِّ ارْجِعُونِ ﴿٩٩﴾ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ…

Wahai Tuhanku, kembalikan aku ke dunia agar aku bisa mengamalkan amal shalih yang dulu aku tinggalkan.” (QS. Al-Mu’minun[23]: 100)

Orang tersebut meminta kembali ke dunia untuk melakukan amal shalih.

Yang lain mengatakan:

يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَـٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا

Sungguh celaka aku, kitab apa ini yang tidak meninggalkan sesuatu yang besar maupun yang kecil kecuali ia perhitungkan.” (QS. Al-Kahfi[18]: 49)

Yaitu ketika ia mendapati amal-amal buruknya semuanya dihitung dan ia mendapatkan lembaran-lembaran yang dituliskan dosa-dosanya dan maksiat dan kesalahannya dalam lembaran tersebut. Maka ketika itu tidak bermanfaat lagi rasa penyesalan.

Yang lain mengatakan:

يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا ﴿٢٨﴾

Sungguh celaka aku seandainya aku dahulu tidak menjadikan fulan sebagai teman dekatku.” (QS. Al-Furqan[25]: 28)

Yaitu orang yang ketika di dunia ia selalu bergaul dan berteman dengan teman-teman yang buruk dan ia memilih berteman dengan mereka dari berteman dengan orang-orang shalih. Maka pada hari kiamat dia akan menyesal dan tidak bermanfaat lagi penyesalan ketika itu.

Juga sekelompok dari mereka mengatakan:

…يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّـهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾

Seandainya dahulu kami mentaati Allah dan mentaati RasulNya.” (QS. Al-Ahzab[33]: 66)

Maka ia menyesal karena telah mentaati para pembesar, para pemimpin dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ia mengatakan perkataan tersebut ketika ia berbolak-balik di berbagai macam siksaan. Ia mengatakan “Seandainya dahulu kami mentaati Allah dan mentaati RasulNya.”

Juga diantara perkataan mereka:

إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿٦٧﴾

Dahulu sesungguhnya kami mentaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami dan mereka pun menyesatkan jalan kami.” (QS. Al-Ahzab[33]: 67)

Simak penjelasan yang penuh manfaat pada menit ke-34:35

Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Sifat-Sifat Pengemban Al-Qur’an


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48276-sifat-sifat-pengemban-al-quran/